LAKI-laki itu bersandar pada pohon kelapa yang batangnya merunduk hampir menyentuh pasir. Ia menatap lurus ke depan, sesekali memperbaiki posisi kaca matanya kemudian melipat kembali kedua tangannya, bersedekap dengan tenang.
Wirya memperhatikan laki-laki itu. Meski kali ini laki-laki itu tidak membuat Wirya sejenak menepi ke pinggir, meninggalkan patok-patok yang sedang disusunnya sebagai bakal sarang telur penyu, dia masih merasa terganggu dengan kehadirannya.
Dia tahu laki-laki itu mengawasi dari belakang. Dia tahu juga kalau laki-laki itu akan terus menunggu hingga pekerjaannya selesai, dan itu cukup membuat Wirya merasa tidak nyaman.
Wirya lalu berpura-pura melanjutkan pekerjaannya, menancapkan beberapa bilah bambu dengan pola melingkar sampai terlihat begitu rapat dengan patok-patok yang telah ditancapkan sebelumnya. Setelah itu, dengan enggan, dia mengikat patok-patok itu menggunakan tali rafia tanpa mengencangkan simpulnya.
Laki-laki itu pernah datang menggunakan jipnya. Barangkali lebih dari sebelas kali. Ia akan mengangguk pada Wirya, seolah memberi isyarat permisi, lalu berjalan terseok-seok menuju patok-patok yang dibuat sepanjang pantai itu.
Wirya akan mengikutinya dari belakang, memandang dengan wajah cemas, memperhatikan tindak-tanduk laki-laki itu seakan bersiap memasang tameng, menjaga telur-telur penyu agar tetap utuh.
Dan hari ini, laki-laki itu kembali lagi.
“Tenang. Aku tidak datang untuk mencuri. Bukankah sudah kukatakan, aku bisa mendapatkan telur penyu itu jika saudara yang mengizinkan?”
“Jawabannya tetap sama. Telur penyu itu tidak dijual. Apalagi diberikan secara cuma-cuma.”