SEORANG laki-laki yang tak dikenal, menyambangi halaman rumahnya siang itu. Laki-laki itu bertanya ini-itu tentang anjing-anjing piaraannya. Ia merasa tak pernah bertemu laki-laki itu sebelumnya. Laki-laki itu mengaku sedang dalam perjalanan mengunjungi keluarganya.
“Saya kebetulan lewat sini dan mampir karena melihat anjing-anjing ini,” terang laki-laki itu.
“Oh, hanya anjing kampung biasa,” tanggapnya.
Beberapa ekor anjing sedang bermain-main. Anjing-anjing itu baru saja diberi makan. Laki-laki itu tampaknya tertarik dengan seekor anjing berbulu hitam yang sedang bermalas-malasan di sudut halaman tak jauh dari kandangnya.
Anjing itu belum dilepaskan dari rantai yang membelenggu kakinya. Anjing itu ditemukan seminggu sebelumnya di depan pasar loak, sedang kehujanan dan terlunta-lunta.
“Apa anjing-anjing ini tak dijual?” tanya laki-laki itu tiba-tiba.
Ia cukup heran dengan pertanyaan semacam itu. Ia tak begitu mengerti soal anjing. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, apakah tak sebaiknya seseorang membeli seekor anjing ras yang benar-benar bagus?
Ia memiliki selusin anjing kampung yang tak pernah dibeli dari pemilik sebelumnya. Ia memungut dan menampung anjing-anjing terlantar itu karena alasan yang sangat sederhana: ingin memberinya makan.
“Oh, itu hanya anjing kampung biasa. Saya tak akan menjualnya.” jawabnya.
“Tak satu pun?” tanggap laki-laki itu. “Saya butuh seekor anjing. Saya akan membelinya dengan harga yang pantas.”
Ia menggeleng.
“Yang hitam ini sepertinya lebih tangguh. Bagaimana?”
Ia menggeleng, sekali lagi.
Laki-laki itu sepertinya belum mau menyerah. Ia tampak lebih antusias memerhatikan anjing-anjing itu. Matanya mengitari ke segenap penjuru halaman rumah. Rumah kecil itu memiliki sedikit sisa tanah yang dimanfaatkan untuk menanam sayur-sayuran dan sebuah kandang ayam oleh pemiliknya.