Topeng Malaikat

CERPEN

OLEH AGUK IRAWAN MN

Angin malam di dusun terpencil itu terasa dingin, namun bukan dingin biasa.

Ada dingin metafisik yang menjalari tulang sumsumku setiap kali aku melewati gerbang desa.

Namaku Sastro, seorang pengembara yang terdampar di tempat bernama Dusun Karang.

Konon, dusun ini adalah tempat paling tenteram di lembah itu.

Warganya ramah, senyum mereka merekah bak bunga musim semi, dan setiap sore, alunan zikir, shalawat dan kidung-kidung suci mendengung bagai lebah terdengar merdu dari surau kecil di tengah dusun.

Namun, ketenteraman itu semu belaka. Di balik keramahan, aku merasakan ada sesuatu yang mengendap, sesuatu yang kelam dan pekat.

Ki Wiro, sesepuh dusun, adalah personifikasi dari kesempurnaan.

Tutur katanya lembut, jubah putihnya selalu bersih, dan setiap petuahnya dikutip dari kitab-kitab suci. Warga mengaguminya, memujanya seolah ia adalah perpanjangan tangan Tuhan di bumi.

Ia selalu bicara tentang cahaya, tentang kebersihan jiwa, dan tentang pentingnya menanggalkan topeng-topeng duniawi.

“Anak muda,” ujarnya suatu sore, saat aku bertandang ke kediamannya yang asri penuh bunga melati, “dunia ini panggung sandiwara. Banyak yang memakai topeng. Tapi topeng terbaik adalah kejujuran.”

Aku hanya mengangguk sopan, meski batin ini bergejolak.

Kata-katanya indah, tapi matanya… matanya dingin, sedingin angin dusun tadi. Aku melihat kilatan perhitungan di sana, bukan ketulusan.

Di sisi lain, ada Pak Lurah yang selalu tampil rapi dengan setelan jasnya, menyuarakan program pembangunan dan kesejahteraan.

Ia pandai beretorika, menjanjikan surga dunia bagi warganya.

Tapi aku tahu, dari cerita-cerita samar yang beredar, di belakang, ia adalah rentenir kejam yang memiskinkan warga secara perlahan.

Lihat juga...