Presiden Soeharto Pahlawan dan Aktivis 98

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 22/11/2025

 

Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Soeharto memunculkan diskusi luas di ruang publik. Menariknya banyak aktivis Reformasi 1998 —yang dulu berada di garda depan penurunan kekuasaan Presiden Soeharto— tidak banyak yang menolak pemberian gelar tersebut.

Sebuah survei menyajikan data 80% rakyat menyetujui atau bahkan menginginkan pemberiaan gelar itu. Penolakan justru datang dari PDIP dan sejumlah koalisi masyarakat sipil. Khususnya yang mengatasnamakan pegiat HAM. Mereka yang selama ini menuduh kasus terbunuhnya anggota PKI tahun 1965 sebagai kejahatan Presiden Soeharto.

Sikap ini menimbulkan pertanyaan: mengapa mereka yang dahulu mengguncang kekuasaan Orde Baru justru tidak menolak pengakuan negara terhadap Soeharto sebagai Pahlawan Nasional?.

Untuk menjawabnya, kita perlu memahami kembali dinamika Gerakan 1998, falsafah gerakan reformasi, dan teori perubahan sosial.

Gerakan 1998 bukan gerakan Tunggal. Melainkan koalisi banyak elemen. Berdasar kajian gerakan sosial modern (Charles Tilly, Sidney Tarrow, Della Porta), gerakan besar selalu merupakan “koalisi longgar”. Datang dari berbagai kelompok dengan tujuan yang tidak identik. Hal ini sangat tampak dalam Reformasi 1998. Ada setidaknya lima aktor besar:

Pertama, barisan globalis, yang melihat reformasi sebagai kesempatan liberalisasi dan akses sumber daya. Untuk mempermudah penguasaan atau pengendalian sumberdaya strategis Indonesia. Selama ini Soeharto menerapkan negative list ketat sektor-sektor bisnis yang bisa dimasuki multinational company. Menumbangkan Soeharto adalah cara paling mudah penguasaan sumberdaya strategis Indonesia itu.

Lihat juga...