Petisi Copot Wapres dan Prinsip Jenderal Soeharto: Tidak Mewariskan Kudeta
Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 27/04/2025
Hari-hari ini pendulum isu publik bergeser. Isu ijazah palsu Presiden ke-7 Jokowi meredup. Ditimpa isu baru yang sedang mencuat: “petisi copot wapres”.
Sebanyak 103 purnawirawan TNI membuat petisi. Didukung mantan Wapres Try Sutrisno. Ada 8 poin tuntutan itu. Isu “copot wapres” merupakan tema paling menarik perhatian.
Haters dan oposan Presiden ke-7 Jokowi menyambut suka cita ide itu. Walau tampak sebagai perulangan tema konfrontasi pilpres. Tema-tema soal “manipulasi konstitusional MK” dan ketidakpantasan “anak belum cukup umur” sebagai wapres. Bisa dikatakan petisi itu bernuansa “gagal move on” pilpres.
Pihak moderat mengajak permakluman. Petisi ratusan purnawirawan TNI itu sebagai kewajaran aspirasi. Keragaman perspektif belaka. Tidak perlu disikapi secara berlebihan. Hanya perlu diperlakukan sebagai ekspresi multikulturalisme ide dalam atmosphere demokrasi.
Di luar dua kelompok responsi itu, terdapat cara pandang bahwa petisi sebagai cerminan otoritarianisme sisa-sisa “old era”. “Petisi Copot Wapres” merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi. Mengingkari “mahkamah rakyat”. Pilpres memutuskan 58 persen rakyat memilih Capres-Cawapres Prabowo-Gibran. Realitas itu harus dihormati.
Konstitusi telah berubah. Era MPR sebagai “locus of power” atau pemegang kedaulatan rakyat, telah berakhir. Telah di amandemen. Rezim MPR memberi jalan politis dalam pemberhentian jabatan sebagai Presiden-Wakil Presiden.
Kini pemberhentian presiden-wakil residen harus melalui proses legal-politis. Capres-Wapres harus diputuskan oleh MK telah melanggar konstitusi. Baru MPR bisa melakukan proses secara politis. Maka petisi “copot wapres”, tidak memiliki pintu legalistik.