Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 05/09/2025
“TNI Ke Barak”: salah satu tuntutan “Gerakan 17/8”. Terkesan janggal. Paradoks. Mencurigakan. Muncul kesan: ide itu membahayakan bangsa. Jika dilihat dari beberapa perspektif.
“Tarik TNI dari pengamanan sipil dan pastikan tidak ada kriminalisasi demonstran”. Sebut tuntutan itu.
Pertama, terdapat bergeseran makna. Narasi “kembali ke barak” adalah mengakhiri dominasi militer dalam politik. Bukan melarang militer membantu pemulihan keamanan. Ketika negara dalam krisis.
Ide itu (TNI ke Barak) dicuatkan usai demo 25-8-2025. Gerakan massa disertai aksi destruktif. Pembakaran sejumlah fasilitas publik. Pusat hingga daerah. Penerapan WFH dan pembatasan mobilitas (orang takut keluar). Menunjukkan situasi hampir darurat sipil. Krisis kepercayaan terhadap polisi.
Sejarah menunjukkan, kekosongan otoritas adalah peluang emas bagi intelijen asing memperkeruh keadaan. TNI –memiliki fungsi kontra-intelijen– justru menjadi alat negara paling efektif mendeteksi dan menanggulangi infiltrasi.
Ide “mengirim TNI ke barak” dalam pemulihan keamanan, ketika menghadapi krisis, sama dengan mengundang infiltrasi asing itu. Ide “TNI ke Barak” menjadi terkesan mencurigakan. Sudah diinfiltrasi.
Kedua, Indonesia dihadapkan eskalasi geopolitik yang terus memuncak. Tekanan eksternal untuk seakan harus memilih: “ikut RRC atau USA”. Usai perang tarif, Indonesia masuk BRICS. Indonesia harus menghadapi tekanan eksternal. Khususnya dari AS.
Ketiga, Indonesia sedang memburu target “Indonesia emas 2045”. Perlu stabilitas sosial politik. Agar segenap sumber daya bisa digerakkan pencapaian target itu. TNI diperlukan untuk turut serta mengantisipasi terjadinya konflik sosial yang bisa memutus rencana itu.