Trans 7 VS Alumni Lirboyo: Siapa Berlebihan?

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 19/10/2025

 

 

Narasi Trans 7 tentang Ponpes Lirboyo memantik amarah publik. Mengguncang ruang sosial hingga parlemen. Tayangan Trans 7 itu bisa bisa membentuk opini: “pesantren itu feodal”. “Budaya pesantren ekploitasi santri”. “Kyainya memperkaya diri”. Dan lain-lain.

Alumi Ponpes Lirboyo melakukan reaksi keras. Demonstrasi Trans 7-hingga parlemen. Muncul sejumlah opini: reaksi alumni ponpes itu berlebihan.

Benarkah demikian?.  Sikap alumni Lirboyo itu berlebihan?. Mari kita bedah secara multi perspektif.

Beberapa pesantren (termasuk besar dan ternama) bisa saja memiliki praktik budaya atau individu  menyimpang dari nilai ideal Islam. Misalnya kasus kekerasan, penyalahgunaan otoritas, atau sistem pengawasan yang lemah. Namun, tidak berarti seluruh pesantren harus dicitrakan negatif karena sebagian kasus. Dalam sosiologi, disebut fallacy of composition — kesalahan menyamaratakan bagian ke keseluruhan.

Pesantren seperti Lirboyo merupakan lembaga sosial-keagamaan dengan akar budaya panjang. Ada nilai ta’dzim (hormat)hikmah (kebijaksanaan), dan tarbiyah (pembentukan moral). Seringkali tidak dipahami media sekuler modern. Maka sering terjadi benturan epistemologis: logika jurnalistik serba cepat dan sensasional bertemu logika pesantren yang kontemplatif dan hirarkis.

 

Sementara itu media (termasuk Trans 7) memiliki fungsi ideal. Memberi informasi, mengawasi kekuasaan (watchdog), menjadi ruang publik diskusi, mengedukasi masyarakat.

Namun (tidak jarang), praktiknya media memiliki dimensi ekonomi dan ideologis. Media adalah industri. Ia mencari rating, klik, dan sensasi. Bukan semata kebenaran substantif. Ia bisa menjadi alat kekuasaan atau kapital. Untuk kepentingan politik, ekonomi, maupun ideologi tertentu.

Lihat juga...