Pesantren NU dalam Tudingan Isu

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 15/10/2025

 

 

Pesantren NU memiki peran strategis dalam lanskap sosial-keagamaan Indonesia. Dikenal sebagai pesantren salaf atau salafiyah. Beda dan tidak ada kaitan dengan manhaj salafi-wahabi.

Ialah lembaga pendidikan Islam yang masih mempertahankan sistem dan metode pengajaran klasik. Sebagaimana diwariskan ulama-ulama terdahulu (ulama salaf).

Ciri-cirinya kurikulum berbasis kitab kuning (kitab turats). Kitab-kitab klasik berbahasa Arab karya ulama abad pertengahan. Menggunakan sistem sorogan (santri membaca di depan kiai, dikoreksi kiai) dan bandongan kiai membaca dan menerjemahkan kitab, santri menyimak dan memberi makna).

Pesantren NU merupakan pilar terpenting pembentukan karakter, spiritualitas, dan intelektualitas bangsa. Tempat disemaikannya nasionalisme sejak jauh sebelum kemerdekaan. Di sini ketahanan mental-spiritual-intelektual ditempa. Jauh dari kemewahan fasilitas. Cendekiawan Muslim Dr. Nurcholish Madjid suatu ketika menyebut: santri pewaris sah nasionalisme Indonesia.

Pada rentang era tertentu, raja-raja Jawa bahkan dikader di Pesantren. Di Tegalsari Ponorogo.

Pesantren bukan entitas tunggal dengan karakter seragam. Ia ekosistem sosial, pendidikan, dan spiritual yang kompleks. Memadukan tradisi, kearifan lokal, dan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Dibalik peran besar itu kini muncul beragam isu, tudingan dan framing negatif. Terakhir dipicu ambruknya bangunan pesantren Al-Khoziny Sidoarjo. Tudingan-tudingan itu seringkali lahir dari ketidaktahuan, kesalahpahaman. Bahkan kecemburuan sosial dan ideologis.

Lihat juga...