Secara etis, media tidak boleh menggunakan kekuasaan informasinya mendiskreditkan pihak lain tanpa verifikasi dan keseimbangan informasi (cover both sides). Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJ) menegaskan jurnalis wajib mengutamakan akurasi, independensi, dan itikad baik. Jika media hanya menyoroti sisi buruk pesantren tanpa ruang klarifikasi atau konteks, itu pelanggaran etika serius.
Kritik media terhadap pesantren bukan hanya boleh. Bahkan harus. Jika ada dugaan pelanggaran atau ketidakadilan dalam pesantren. Tidak dibenarkan adalah framing sepihak, generalization terhadap seluruh pesantren, nada sinis yang mendiskreditkan tradisi keagamaan. Tidak dibenarkan pula pemanfaatan isu untuk kepentingan ekonomi/politik tertentu.
Pesantren maupun media sama-sama memegang kekuasaan sosial. Pesantren memegang kekuasaan moral dan simbolik. Media memegang kekuasaan informasi dan opini publik. Keduanya harus sama-sama transparan, akuntabel, dan terbuka terhadap kritik.
Jika media menggunakan kekuatannya membentuk persepsi negatif tanpa keseimbangan. Ia melampaui fungsinya sebagai “penyeimbang kekuasaan”. Berubah menjadi alat kekuasaan baru yang justru perlu dikritisi.
Apa protes keras para alumni pondok itu dibenarkan. Tidak melampaui batas?.
Etika sosial mengajarkan “hak atas kehormatan (dignity) adalah nilai fundamental”.
Jika suatu kelompok —dalam hal ini pesantren Lirboyo— merasa dilecehkan, disalahpahami, atau diframing secara buruk. Mereka memiliki hak moral meluruskan citra, membela diri secara terbuka, menyampaikan protes secara damai. Ini sejalan dengan prinsip “moral self-defense“. Pembelaan terhadap harga diri dan reputasi yang dirusak oleh pihak lain.