Demonstrasi adalah hak konstitusional (Pasal 28E UUD 1945). Dibenarkan dari perspektif moral ketika dilakukan secara damai dan beradab. Tidak bertujuan membalas dendam. Bertujuan untuk menegakkan kebenaran atau keadilan informasi.
Menurut Habermas (Rasionalitas Komunikatif), tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam diskursus rasional publik. Ialah ruang di mana semua pihak bisa berbicara setara. Jika Trans 7 menggunakan kekuasaannya memproduksi wacana sepihak, demo santri adalah usaha mengembalikan keseimbangan ruang diskursus publik. Agar pesantren didengar. Artinya, demo bukan irasional. Melainkan bagian dari proses komunikasi demokratis untuk memulihkan dialog yang timpang.
Fraser (Ketidakadilan Simbolik) menyebut dalam masyarakat modern sering terjadi “misrecognition”. Ketika kelompok tertentu (seperti komunitas religius tradisional) disepelekan atau direpresentasikan secara tidak adil dalam media modern. Demo para santri bisa dibaca sebagai resistensi terhadap ketidakadilan simbolik: mereka menuntut agar cara pandang dan nilai-nilai pesantren tidak direduksi dengan kacamata sekuler atau sensasional.
Teori Kritis dan Resistensi Kultural (Stuart Hall, Raymond Williams): media tidak netral; ia mereproduksi ideologi dominan. Jika pesantren merasa diframing dengan cara yang menempatkan mereka sebagai “tradisional, kolot, atau terbelakang,”. Protes publik menjadi bentuk counter-hegemony. Perlawanan terhadap narasi dominan media. Secara rasional dan teoritik, ini adalah bentuk resistensi kultural yang sah terhadap dominasi simbolik media massa.