Maulid Nabi: Transformasi Misi Kenabian

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 05/09/2025 (12 Rabiul Awal 1447 H)

 

 

“Bidáh”. Ajaran Syiah”. Begitu kata penganut Salafi-Wahabi. Seputar penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad Saw.

Mereka ber-hujjah (argumentasi): “Barang siapa membuat-buat perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan darinya, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari & Muslim). Salafi-Wahabi memahaminya secara zakelijk. Kaku. Tekstual.

Jumhur (mayoritas) ulama memaknai hadits itu dalam kerangka ibadah formal (mahdhoh). Misal, menambah rekaat sholat fardhu: itu jelas bid’ah.

Imam As-Suyuthi dan Ibn Hajar Al-Asqalani mendukung Maulid. Selama isinya baik: shalawat, sedekah, dakwah, dll).

Era rasul tidak ada perayaan khusus. Rasulullah berpuasa hari Senin. Ketika ditanya, beliau menjawab: “Itulah hari aku dilahirkan dan hari aku diutus atau diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Muslim). “Ultah” Rasulullah Muhammadi Saw, diperingati dengan ibadah individual.

Tradisi perayaan Maulid dimulai Dinasti Fatimiyah (909–1171 M) Mesir. Rezim Syiah. Perayaan berupa perjamuan, pembacaan puisi, dan doa. Maka Salafi-Wahabi menuding setiap peringatan Maulid, sebagai Syiah. Tradisi Fatimiyah itu hilang, seiring runtuhnya rezim.

Rezim Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1137–1193 M). Sunni. Menyelenggaraan maulid Nabi Muhammad Saw., untuk meggelorakan umat Islam. Kala itu era Perang Salib.

Al-Muzhaffar Abu Sa‘id Kukburi dari Irbil Irak (Abad 7 H / 13 M). Rezim Sunni. Maulid dengan mengundang ulama, qari, penyair, dan masyarakat. Membaca sirah (biografi) Nabi, qasidah, dan shalawat. Menyediakan makanan untuk rakyat miskin, memerdekakan budak, berbagi hadiah.

Lihat juga...