Lalu bagaimana caranya?. Kudeta?. Dipaksaan di luar rule of the game yang ada. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kelompok pro demokrasi. Terhadap kejanggalan ide petisi “Copot Wapres”.
Terkait pengelolaan perubahan radikal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, kita perlu belajar dari salah satu legenda TNI. Jenderal Besar HM. Soeharto. Ia juga presiden terlama dalam sejarah Indonesia merdeka. Pernah melewati transisi menegangkan dari era Orde Lama menuju Orde Baru.
Perubahan se-radikal apapun harus tetap konstitusional. Tidak boleh mewariskan tradisi kudeta.
“Saya tetap berfikir, memberi nafas pada kehidupan demokrasi sangat perlu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Saya tetap teguh dalam pendirian, tidak akan mewariskan lembaran sejarah hitam dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, menggunakan kekuatan senjata merebut kekuasaan (atau coup) sebab sekali terjadi akan terus bisa terjadi seperti di Amerika Latin atau Afrika.”
Prinsip itu ia tegaskan melalui buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 1989), Hal. 175-178). Ketika menjelaskan masa-masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Presiden Soekarno dinilai berpihak pada PKI. Terlalu lamban bertindak. Negara dan bangsa menjadi penuh gejolak.
Kabinet 100 menterinya Presiden Soekarno dihujat banyak pihak. Muncul desakan kuat agar Jenderal Soeharto mengambil alih kepemimpinan negara. Sikap Jenderal Soeharto tegas: “perubahan harus konstitusional, tidak boleh mewariskan tradisi kudeta”.
Ia buktikan sikapnya itu. Transisi Orde Lama – Orde Baru berlangsung sesuai konstitusi. UUD 1945. Melalui proses konstitusional di MPR. TNI dikendalikannya tanpa memiliki tradisi kudeta. Berbeda dengan negara-negara Amerika Latin, semenanjung Arabia, Afrika, Thailand, Filiphina. Militernya gemar kudeta.