Pada era reformasi, ketulusan sikap Jenderal Soeharto itu dibalik. Dijadikan senjata pembunuhan karakter terhadap dirinya. Ia dituding melakukan “kudeta merangkak”. Melalui Supersemar, ia dikesankan melucuti kekuasaan Presiden Soekarno.
Narasi kudeta merangkak itu tepatnya disematkan kepada PKI. Melakukan kudeta bertahap: militer dan politis. Pimpinan TNI AD dihabisi terlebih dahulu. Kemudian dibentuk dewan Revolusi 1 Oktober 1965. Sebagai sumber segala kekuasaan yang baru. Presiden Soekarno di demisionerkan. Melalui Dewan Revolusi inilah PKI mengendalikan kekuasaan di Indonesia. Sekenario itu berhasil digagalkan Jenderal Soeharto.
Presiden Soekarno runtuh oleh realitas politik. Kekuasannya disangga politik 3 kaki: Nasionalis-Agama-Komunis. Ketika kaki ketiga (PKI) runtuh oleh gagal kudeta, maka runtuh pula eksistensi kekuasannya. Politik Luar Negeri Presiden Soekarno memusuhi barat. Ketika komunis gagal berkuasa di Indonesia, aliansi dengan negara-negara blok Komunis juga runtuh. Presiden soekarno tidak punya aliansi lagi dengan Blok Barat dan Blok Timur dalam politik luar negeri. Habislah kartu politik yang dimiliki Presiden Soekarno. Baik penyangga politik dalam negeri maupun luar negeri.
Lepasnya kartu-kartu politik itu penyebab runtuhnya kekuasaan Presiden Soekarno. Bukan karena dikudeta oleh Jenderal Soeharto. Maka tidak ragu bagi Jenderal Soeharto untuk “mikul duwur mendhem jero” terhada pendahulunya itu. Bukan meghujatnya.
Pelajaran dari para pendahulu bangsa adalah tradisi perubahan secara konstitusional. Kudeta hanya akan melahirkan dendam tidak berkesudahan. Bangsa perlu menyatukan kekuatan memanfaatkan momentum merebut kemajuan.