HAM: Idealisme Universal dan Realitas Politik Global

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 15/11/2025

 

 

Hak Asasi Manusia (HAM) sering dipandang sebagai tonggak moral modern yang menjamin harkat dan martabat setiap individu. Prinsip-prinsip ini berakar pada perkembangan hukum internasional pasca-Perang Dunia II. Terutama melalui tiga dokumen fundamental yang kemudian dikenal sebagai International Bill of Human Rights.

Pertama, Universal Declaration of Human Rights (UDHR), 1948. Kedua, Dua International Covenants tahun 1966. Ialah ICCPR – International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) dan ICESCR – International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya).

Kedua kovenan ini mulai berlaku pada 1976 dan menjadi dasar legal-institusional HAM global. ICCPR melindungi hak-hak sipil dan politik seperti kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, hak atas keadilan, dan larangan penyiksaan. Sementara ICESCR menegaskan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya seperti hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan standar hidup layak.

Bersama UDHR, kedua kovenan ini menyusun kerangka bahwa martabat manusia harus dilindungi. Melalui kombinasi hak kebebasan dan hak kesejahteraan.

Namun demikian, implementasi HAM tidak selalu berjalan harmonis. Dalam praksis politik global, terdapat tiga persoalan mendasar yang membuat HAM berpotensi menjadi kontra-produktif: politisasi HAM tanpa konteks, instrumentalisasi HAM sebagai alat kontrol antarnegara, dan potensi pelemahan eksistensi bangsa, khususnya negara berkembang.

Secara teoritik, HAM bersifat universal. Berangkat dari filsafat humanisme yang meyakini bahwa martabat manusia melekat pada semua individu. Namun para pemikir seperti Clifford Geertz, Jack Donnelly, hingga sarjana relativisme budaya menyatakan universalisme HAM tidak dapat dilepaskan begitu saja dari konteks sejarah, budaya, dan struktur sosial tiap masyarakat.

Lihat juga...