HAM: Idealisme Universal dan Realitas Politik Global

Konflik muncul ketika standar HAM yang bersifat universal diterapkan secara kaku pada negara dengan kondisi yang sangat berbeda. Tuduhan pelanggaran HAM kerap muncul tanpa mempertimbangkan: ancaman terorisme atau ekstrimisme, konflik separatis atau disintegrasi, ketegangan etnis atau sejarah kekerasan, kapasitas negara dalam menjaga stabilitas.

Dalam teori politik, fenomena ini dikenal sebagai delegitimasi moral. Ialah ketika HAM digunakan untuk menjatuhkan lawan politik atau memojokkan pemerintah tertentu. Tuduhan pelanggaran HAM menjadi stigma politik. Bukan alat evaluasi objektif.

ICCPR maupun ICESCR memang mewajibkan negara melindungi hak manusia. Akan tetapi keduanya juga mengakui adanya pembatasan yang sah (legitimate limitations) atas dasar: keamanan nasional, ketertiban umum, moralitas publik, dan perlindungan hak orang lain.

Ketika aspek ini diabaikan, maka diskursus HAM menjadi terdistorsi dan tidak lagi mencerminkan semangat UDHR maupun dua kovenan 1966.

Dalam perspektif realisme dalam hubungan internasional, negara selalu mengejar kepentingan geopolitik dan strategis. Karena itu, meskipun HAM diklaim sebagai norma universal, ia sering digunakan sebagai alat tekanan politik oleh negara kuat terhadap negara lemah.

Teori critical international relations (Richard Falk, Edward Said) bahkan menilai norma HAM global tidak pernah sepenuhnya netral. Karena: dirumuskan dalam konteks dominasi Barat pasca-1945, dikelola institusi internasional yang dekat dengan kepentingan negara maju, dan sering diterapkan secara selektif.

Contoh fenomena umum yang sering dikritik akademisi: sanksi ekonomi dijustifikasi dengan laporan pelanggaran HAM, intervensi militer diberi label “operasi kemanusiaan”, isu HAM digunakan sebagai alasan mengisolasi negara tertentu.

Lihat juga...