Paradoks: Haji di Cerca, Belanja Wisata di Puja

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 24/12/2025

 

 

Berulang kali muncul tudingan ibadah haji dan umrah hanya menguntungkan Arab Saudi. Sekaligus merugikan bangsa Indonesia. Dianggap menyebabkan devisa lari ke luar negeri.

Pandangan semacam ini terdengar sederhana. Tetapi sesungguhnya problematik. Baik secara keimanan, logika ekonomi, maupun konsistensi berpikir. Tudingan itu bukan hanya mengabaikan data. Melainkan menutup mata terhadap realitas ekonomi Indonesia sendiri dan bahkan sarat paradoks.

Haji merupakan persoalan iman. Dalam ajaran Islam, haji merupakan rukun Islam kelima. Wajib ditunaikan bagi mereka yang mampu secara fisik dan finansial. Negara tidak berada dalam posisi menilai—apalagi menghalangi—niat ibadah warganya selama dilakukan secara sah.Dalam kerangka negara-bangsa modern, berhaji adalah hak warga negara. Sama halnya dengan hak bepergian ke luar negeri untuk pendidikan, bisnis, atau wisata. Menggugat haji semata-mata dengan alasan ekonomi menafikan dimensi spiritual yang menjadi dasar keberangkatan jutaan umat Islam. Berpotensi berbenturan dengan prinsip kebebasan beragama yang dijamin konstitusi.

Menariknya, bahkan jika diskusi diturunkan sepenuhnya ke ranah ekonomi, anggapan haji merugikan Indonesia tidak berpijak pada fondasi kokoh. Karena ibadah haji dan umrah dalam banyak aspek nyata-nyata menggerakkan ekonomi nasional.

Sebelum seseorang berangkat haji, terdapat proses panjang. Biaya haji tidak datang dari ruang hampa. Melainkan akumulasi kerja keras bertahun-tahun. Banyak calon jamaah termotivasi bekerja lebih giat, berusaha lebih tekun, menabung secara disiplin. Bahkan membangun usaha demi mencapai kemampuan finansial untuk berhaji.