Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 25/12/2025
Tulisan ini disusun semata-mata dari perspektif legalistik dan hukum keorganisasian. Menjadikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU sebagai rujukan utama.
Ia tidak dimaksudkan menilai motif personal, kepentingan politik, atau preferensi kultural pihak mana pun. Melainkan membaca konflik PBNU yang sedang berlangsung secara normatif-konstitusional.
Konflik internal Nahdlatul Ulama (NU) pada saat ini membuka persoalan mendasar. Apakah desain AD/ART NU memungkinkan kepengurusan PBNU secara de facto berlangsung tanpa batas waktu.?
Pertanyaan ini bukan tudingan politis. Melainkan problem konstitusional yang muncul dari praktik organisasi ketika konflik kepemimpinan berada dalam kebuntuan.
Konflik Rais Aam Syuriyah dan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU hasil “Muktamar terakhir” telah berkembang dari dinamika internal menjadi konflik struktural. Persoalannya bukan lagi relasi personal. Melainkan inti kewenangan organisasi. Siapa berhak menyelenggarakan Muktamar. Siapa berwenang memberhentikan PB NU. Bagaimana keberlanjutan kepemimpinan NU ditentukan ketika dua unsur pimpinan tertinggi tidak lagi berjalan seiring.
Konflik bermula dari perbedaan tafsir kewenangan antara Rais Aam Syuriyah dan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU yang sama-sama dipilih Muktamar terakhir. Ketegangan berkembang menjadi wacana pencopotan Ketua Umum oleh pihak yang mengatasnamakan Syuriyah. Sejumlah tokoh senior NU—termasuk KH. Ma’ruf Amin—menegaskan pencopotan Ketua Umum PBNU di luar Muktamar tidak sesuai AD/ART NU.
Seiring eskalasi konflik, muncul wacana penyelenggaraan Muktamar yang tidak melibatkan PBNU secara utuh. Ada gagasan Ketua Umum menyelenggarakan Muktamar bersama PWNU dan PCNU. Gagasan lain Syuriyah mengambil alih kewenangan tersebut. Wacana ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah langkah-langkah itu sah menurut AD/ART?