NU: Menuju Fase Ken Arok Style ?

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 16/12/2025

 

 

Mencermati lagi konflik internal Nahdlatul Ulama bukanlah perkara sederhana. NU adalah rumah besar para ulama, gudang ilmu, kebijaksanaan, dan hikmah.  Sejak berdirinya, NU tumbuh bukan hanya sebagai organisasi keagamaan. Tetapi sebagai jam’iyyah yang memelihara etika, adab, dan tata kelola berbasis musyawarah.

Tulisan ini tidak dimaksudkan menggurui, melainkan sekadar perspektif. Atas dinamika yang sedang terjadi di tubuh organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Pencermatan terhadap NU, tidak lebih sebagaimana percermatan terhadap dinamika kemasyarakatan dan kebangsaan pada umumnya.

Babak baru konflik NU mengemuka setelah berlangsungnya pleno yang diselenggarakan oleh Rais ‘Aam. Pleno itu menetapkan Penjabat Ketua Umum Tanfidziyah baru, di tengah seruan kiai sepuh agar persoalan diselesaikan melalui islah atau menunggu forum muktamar. Seruan tersebut sebelumnya disampaikan melalui pertemuan para mustasyar dan kiai sepuh yang secara historis selalu menjadi penyangga stabilitas NU.

Seruan ini tidak diindahkan. Mantan Wakil Presiden Kiai Ma’ruf Amin secara terbuka menyatakan bahwa pemakzulan Gus Yahya dari jabatan Ketua Umum Tanfidziyah merupakan tindakan yang tidak konstitusional. Dalam pandangan ini, langkah Syuriah telah melampaui ketentuan AD/ART, karena mandat Ketua Umum bersumber dari muktamar dan hanya dapat diakhiri melalui forum yang setara. Ialah muktamar atau muktamar luar biasa.

Pada sisi lain, Gus Yahya sebagai Ketua Umum Tanfidziyah hasil muktamar tetap menjalankan tugasnya secara efektif. Secara administratif dan organisatoris, roda Tanfidziyah tetap bergerak di bawah kepemimpinannya. Ia tidak bersedia digeser oleh hasil pleno yang dipersoalkan legitimasi dan kuorumnya.

Lihat juga...