NU Setelah Satu Abad: Dari Otoritas Keagamaan Menuju Arsitektur Peradaban

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 27/11/2025

 

 

Kemelut yang melibatkan Ketua Umum PBNU, Gus Yahya Cholil Staquf, dan Syuriah—apa pun duduk persoalan internalnya—menyentuh pertanyaan yang jauh lebih mendasar mengenai di fase mana sebenarnya NU berada hari ini?.

Lebih dari sekadar pergantian figur atau ketegangan kelembagaan. Dinamika ini membuka ruang refleksi tentang tantangan struktural NU setelah satu abad berdiri sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia.

Nahdlatul Ulama sejak awal berdiri merupakan ikatan keagamaan berbasis otoritas ulama. Bukan organisasi yang bertumpu pada kepemilikan, kapital, atau kekuasaan politik. Legitimasinya bersifat moral. Lahir dari trust umat kepada nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah.

Sebagai sebuah value-based organization, legitimasi NU tumbuh ketika nilai dijaga. Melemah ketika kepercayaan terganggu. Karenanya, setiap turbulensi internal—meski masih dalam batas konflik biasa sebuah organisasi besar—selalu memantik kegelisahan publik. Karena menyentuh lapisan legitimasi moral. Bukan sekadar legalitas struktural.

Pada fase awal berdiri hingga memasuki abad pertama, NU menempuh proses pelembagaan pandangan keagamaan Aswaja. Berbasis fikih empat mazhab mu’tabar, teologi Asy’ari–Maturidi, tasawuf Imam al-Junaid dan Imam al-Ghazali.

Era abad pertama membutuhkan figur guru bangsa. Ialah kyai karismatis, mursyid, pendakwah orator, pembimbing spiritual. Figur penuntun umat yang kala itu masih minim akses pendidikan keagamaan di banyak wilayah.

Pada 1930–1950-an, masyarakat Indonesia—terutama di desa—masih memiliki tingkat buta huruf di atas 60% (Sumber: sensus kolonial & BPS awal kemerdekaan). Pesantren di era itu baru sekitar 1.000-an (Bruinessen, Kitab Kuning, 1995).

Lihat juga...