Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 04/11/2025
Percakapan publik kita sering memperdengarkan klaim “NU “dikuyo-kuyo” sepanjang Orde Baru (Orba)”. Klaim itu terasa meyakinkan jika dilihat dari permukaan. Seperti pembatasan politik, fusi partai, kontrol negara terhadap Islam.
Ketika kita masuk lebih dalam, membaca kembali sejarah dengan ketenangan, menambahkan data-data yang jarang terangkat: hubungan NU dan negara pada masa itu tampak lebih kaya. Lebih berlapis. Tidak sesederhana relasi antagonistik.
Faktanya beberapa tokoh NU—termasuk KH. Achmad Shiddiq—duduk sangat dekat dengan Presiden Soeharto dalam proses penerimaan Asas Tunggal Pancasila tahun 1984. Menunjukkan relasi NU-Orde Baru itu tidak hitam-putih.
Ada dinamika negosiasi, kedekatan kultural, sekaligus keterbatasan struktural yang bekerja bersamaan. Di titik inilah, membaca sejarah membutuhkan lebih dari sekadar kesimpulan emosional. Perlu ketelitian dan kesediaan memahami konteks.
Pertama, adanya jejak non-kooperasi terhadap kolonial. Para kiai NU masa kolonial menolak sekolah Belanda dan mempertahankan pendidikan pesantren.
Sikap ini tidak hanya moral, akan tetapi juga politis. Data kolonial menunjukkan tahun 1930-an, lebih 90% pegawai administrasi pribumi adalah lulusan sekolah formal kolonial (HIS, MULO, AMS). Bukan pesantren. Karena itu, ketika Indonesia merdeka 1945, dan ketika negara membutuhkan birokrat modern dalam jumlah besar, lulusan pesantren tidak berada dalam jalur rekrutmen tersebut.
Ini konsekuensi historis yang sering dilupakan. NU tidak menjadi pemasok utama SDM birokrasi bukan karena ditekan. Melainkan mereka tidak berada dalam sistem pendidikan formal kolonial yang membentuk birokrasi modern. Pilihan non-kooperasi itu benar secara moral. Akan tetapi ia membawa dampak struktural yang panjang.