Membaca Ulang Relasi NU, Orde Baru, dan Reformasi

Kritiknya tidak selalu bermakna permusuhan total, akan tetapi sering menjadi strategi negosiasi. Dalam banyak rezim yang dianggap otoriter, suara oposisi justru menjadi jalan memasuki lingkaran tawar-menawar. Gus Dur memahami logika ini, dan memainkannya dengan cara unik. Sebuah perpaduan antara moralitas pesantren dan kecerdasan membaca struktur kekuasaan. Konteksnya adalah tawar menawar untuk transformasi struktural warga NU dalam berbangsa dan bernegara.

Jika pada masa Orde Baru NU terlihat jauh dari kekuasaan, pada masa Reformasi (1998–sekarang) NU tampak sangat dekat. Fenomena ini sering ditafsirkan sebagai “NU kini haus kekuasaan”. Sedikit yang memahami bahwa itu konsekuensi munculnya kelas menengah terdidik NU.

Transformasi pendidikan sejak 1970-an mulai berbuah pada awal 2000-an. Data Kemenag dan BPS menunjukkan kenaikan signifikan lulusan madrasah dan PTAI meningkat dari ±160.000 (1990) menjadi ±700.000 (2010). Lulusan MA dan pesantren modern semakin banyak masuk perguruan tinggi umum.

Dua dekade terahir lahir generasi baru NU: santri yang sarjana, magister, doktor, bahkan profesor. Kelas menengah santri ini kemudian masuk birokrasi, kampus, partai politik, dan lembaga negara. Kehadiran mereka membuat NU terlihat “mendekati kekuasaan”, padahal yang berubah adalah kualitas SDM-nya.

Selain itu juga adanya konsekuensi perubahan sistem politik. Setelah reformasi, Indonesia beralih ke sistem proporsional terbuka. Suara individu pemilih lebih menentukan. Jaringan sosial pesantren menjadi aset elektoral langsung. Kelompok dengan massa besar seperti NU menjadi magnet politik.

 

Lihat juga...