Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 05/11/2025
Tokoh bernama lengkap Soeharto (1921–2008) adalah presiden kedua Republik Indonesia (1966–1998). Memahami ia berpikir, mengambil keputusan, dan membentuk rezim, kita perlu mencermati dirinya sebagai anak dari tiga “tradisi pembentuk”-nya. Ialah: peradaban politik Jawa–Mataram, etika kesantrian & sufisme Jawa, militer kolonial Belanda & Jepang.
Soeharto lahir di Kemusuk, Yogyakarta (1921). Secara historis merupakan zona inti kebudayaan Mataram Islam (Kotagede–Yogyakarta–Surakarta). Area yang sejak abad ke-17 dikenal sebagai buffer zone peradaban Jawa. Pusat kekuasaan simbolik, pusat adat, dan pusat konsepsi politik Jawa.
Konsep utama politik Mataram adalah “mikul dhuwur mendhem jero”. “Sapa wani nglawan ratu bakal cilaka” (melawan pemerintah akan celaka). Wajib memelihara tatanan kosmis (memayu hayuning bawana). Rezim adalah representasi ketertiban kosmis. Pemberontakan dianggap sebagai ancaman terhadap dunia yang tertata.
Soeharto menyerap tradisi ini bukan dari pendidikan formal. Melainkan dari lingkungan, bahasa sehari-hari, dan relasi sosial. Ia tumbuh di ruang budaya di mana jatuh–bangunnya kekuasaan Mataram masih menjadi ingatan kolektif: konflik dinasti, pemberontakan dan perebutan legitimasi. Bahkan jatuh bangun kekuasaan Nusantara. Mulai Mataram Kuno hingga Majapahit.
Tidak heran jika kelak, ia sangat tidak setuju dengan gerakan yang dianggap “mengoyak tatanan”. Baik ekstrim kanan (Darul Islam) maupun ekstrim kiri (PKI).
Dalam teori Clifford Geertz tentang politik Jawa, negara dipahami sebagai panggung kosmis. Stabilitas merupakan kewajiban moral. Soeharto contoh nyata “pemimpin Jawa” dalam definisi Geertz: pendiam, taktis, konsensual, tapi sangat keras terhadap ancaman terhadap harmoni.