Membaca Sosok Presiden Soeharto

Buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya” memberi informasi ketika masa kecil tinggal di Wonogiri, ia sering mendampingi/membantu Kyai Daryatmo. Seorang kyai “sufistik”. bukan tipe da’i (pengajian). Melainkan “kyai ruwat”, konsultan spiritual masyarakat, penyelaras batin, yang dalam budaya Jawa memiliki posisi sangat penting.

Hubungan ini membentuk Soeharto dalam beberapa hal: kedekatan pada tasawuf Jawa (laku prihatin, tirakat, tapa), keyakinan pada tanda-tanda batin, orientasi pada ketenangan batin dalam mengambil keputusan, Kecenderungan pada “jalan tengah”.

Bahkan hingga masa kekuasaannya, Persiden Soeharto dikenal sering melakukan laku spiritual ala Jawa–Islam. Tirakat di tempat-tempat tertentu, konsultasi dengan ulama dan sesepuh, dan sebagainya.

Presiden Soeharto kemudian bersekolah di sekolah formal Muhammadiyah di Yogyakarta. Alasannya karena menerima siswa miskin tanpa persyaratan pakaian resmi: beskap.  Dari sini ia mendapat etos disiplin dan kebersihan ala modernis, pemikiran Islam rasional dan reformis, sikap bekerja sunyi. Kombinasi NU–sufistik dan Muhammadiyah–modernis menciptakan kepribadian religius yang pragmatis. Tidak fanatik, namun memiliki struktur moral internal.

Menurut teori antropologi agama (Woodward, Beatty), Islam Jawa adalah jaringan identitas sinkretis antara: Islam normatif, sufisme, adat Jawa (kejawen). Soeharto adalah produk integratif dari ketiganya. Maka dipahami ia tidak mendukung ideologi agama politik (DITII) maupun sekularisme radikal. Ia memposisikan negara sebagai penjaga harmoni religius.

Soeharto pernah menerima pelatihan militer Belanda, KNIL. Menekankan hierarki ketat, komando tunggal, kesetiaan korps, disiplin tanpa kompromi. Pada era Jepang, menerima pelatihan kemiliteran PETA. Dari KNIL ia mendapat order & hierarchy. Dari PETA ia mendapat spirit & mobilization.

Lihat juga...