Soeharto muda kemudian aktif di TNI, bergabung dalam pertempuran 1945–1949. Ikut operasi penting seperti: Serangan umum 1 Maret, penumpasan DI/TII, operasi di Sulawesi, operasi Mandala pembebasan Irian Barat, penumasan PKI 65. Di sini ia melihat langsung bagaimana gerakan ekstrem kanan & kiri menyebabkan kekacauan. Inilah yang membentuk prinsip politiknya: negara harus membungkam ekstremisme demi keberlanjutan peradaban.
Dalam teori Huntington tentang militer, Soeharto cocok dengan tipe “praetorian leader”. Pemimpin yang lahir dari militer dengan agenda stabilitas, birokrasi kuat, dan depolitisasi publik.
Apa Soeharto otoriter, atau hanya beda sudut pandang. Jawabnya tergantung kerangka analisis. Konsep moderen-liberal menempatkan Orde Baru rezim otoriter. Secara ilmiah (O’Donnell, Huntington, Levitsky): oposisi dibatasi, media dikontrol, pemilu tidak kompetitif, korupsi struktural terjadi, kekerasan negara terjadi. Perspektif ini, Orde Baru adalah otoritarianisme birokratis-militer.
Perspektif budaya-politik Jawa & logika keamanan militer, rezim presiden Soeharto bukan toriter. Melainkan sebagai penjaga tatanan. “Penjaga stabilitas,” “pemberi ketertiban,” “pelindung rakyat dari ekstremisme,”. “Bapak bangsa” menurut model paternalistik Jawa. “Ketegasan” adalah moral, bukan kekejaman. UUD 1945 melegalisasikan hal itu.
Dalam kerangka struktural Cold War: kekerasan dianggap normal. Dalam masa perang. Pada masa itu Amerika mendukung rezim anti-komunis. Banyak negara Asia melakukan pembersihan politik dari ancaman komunis & ekstrem kanan. Kekerasan bukan unik Soeharto, melainkan norma global pada zamannya.