Kedua, transformasi pendidikan NU oleh Orde Baru. Kritik kita terhadap kontrol politik Orde Baru sering membuat kita lupa bahwa rezim ini juga membuka ruang transformasi pendidikan Islam. Data kebijakan mencatat SKB Tiga Menteri 1975 menyetarakan madrasah (MI, MTs, MA) dengan sekolah umum. Tahun 1980-an, Departemen Agama mendirikan madrasah unggulan, seperti Madrasah Aliyah Model (MAM). Menggabungkan kurikulum agama dan umum.
Jumlah madrasah meningkat pesat: 13.000 pada awal 1970-an, menjadi lebih 36.000 madrasah pada awal 1990-an. Transformasi ini melahirkan generasi santri baru. Fasih kitab kuning, juga akrab dengan fisika, matematika, atau bahasa Inggris. Generasi inilah yang kemudian menjadi kelas menengah terdidik NU pada era Reformasi. Sering kali, perubahan-perubahan besar justru dimulai dari kebijakan yang tampak teknis dan sunyi.
Ketiga, sistem politik konsensus dengan penyederhanaan partai. Pada masa Orde Baru (1966–1998), kekuatan massa hampir tidak memiliki arti politik. Sistem proporsional tertutup dan dominasi Golkar membuat partisipasi politik ditentukan sejumlah kecil elite. Kebijakan floating mass (1971–1985) secara eksplisit melarang organisasi keagamaan melakukan aktivitas politik di akar rumput.
Pada situasi seperti ini, NU dengan puluhan juta anggota tetap tidak bisa mengonversi massa-nya menjadi akses kekuasaan. Ini bukan karena negara membenci NU. Melainkan desain politik Orde Baru menutup jalan bagi semua kelompok berbasis massa. Termasuk NU. Sedikitnya NU di pusat kekuasaan adalah hasil struktur politik, bukan permusuhan tunggal.
Gus Dur sering dibaca sebagai simbol oposisi terhadap Orde Baru. Akan tetapi ketika kita melihat lebih dekat, ada dualitas menarik. Pada satu sisi, Gus Dur berbicara tentang demokrasi, pluralisme, dan kebebasan sipil. Pada sisi lain Gus Dur beberapa kali bertemu Preside Soeharto secara pribadi. Ia mendapat akses informal ke lingkar elite tertentu.