Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 16/12/2025
Indonesia adalah negara dengan tingkat kerawanan bencana sangat tinggi. Gempa bumi, banjir bandang, longsor, letusan gunung api, hingga cuaca ekstrem. Kerap terjadi di wilayah dengan karakter geografis sulit dijangkau.
Pada banyak kejadian, bencana tidak hanya merusak permukiman. Tetapi juga memutus total jalur distribusi logistik. Jalan amblas, jembatan runtuh, dan daerah terisolasi menjadi pola berulang. Termasuk terputusnya suplai logistik antar pulau oleh gelombang tinggi.
Seharusnya sudah diantisipasi dalam sistem penanggulangan bencana nasional. Kenyataannya, keterlambatan bantuan pangan masih menjadi persoalan utama. Salah satunya disebabkan ketiadaan sistem Ready Airdrop Kit terstandarisasi dan benar-benar siap digunakan secara massal.
Praktik penanggulangan bencana di Indonesia, airdrop diperlakukan sebagai solusi darurat terakhir. Bantuan udara bukan karena sistemnya telah siap. Melainkan semua akses lain telah gagal.
Airdrop dilakukan dengan pendekatan improvisasi. Bantuan yang tersedia di gudang bukan bantuan yang dirancang dijatuhkan dari udara. Logistik harus dipilah ulang, dikemas ulang, ditimbang ulang, dan diamankan ulang agar tidak rusak saat dijatuhkan.
Proses ini menyita waktu berharga, terutama pada masa golden days. Ketika kebutuhan pangan bersifat sangat mendesak. Lima hari pertama bencana. Ketika bantuan darat belum bisa menjangkau.
Situasi ini tampak nyata dalam banjir besar di Aceh. Ketika curah hujan ekstrem menyebabkan enam jembatan penghubung antar daerah terputus. Kerusakan itu melumpuhkan jalur darat dan memutus distribusi bantuan ke banyak wilayah terdampak. Proses pemulihan infrastruktur berlangsung lambat.