Status “Bencana Nasional” Aceh Tidak Relevan

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 21/12/2025

 

 

Setiap bencana besar hampir selalu diikuti tuntutan agar pemerintah menetapkan status bencana nasional. Aceh tidak terkecuali. Di ruang publik, label tersebut kerap dipahami sebagai ukuran kehadiran negara. Seolah tanpa status nasional, negara belum bekerja sepenuhnya. Belum menunjukkan keseriusannya.

Pandangan semacam ini wajar secara emosional. Namun problematis jika dilihat dari sudut pandang hukum, tata kelola pemerintahan, dan realitas teknis penanganan bencana. Dalam konteks Aceh saat ini, tuntutan penetapan status bencana nasional justru semakin kehilangan relevansinya.

Secara normatif, konsep bencana nasional di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang ini tidak menempatkan status bencana nasional sebagai simbol moral atau politik. Melainkan sebagai instrumen administratif untuk mengaktifkan mekanisme pemerintahan luar biasa ketika kapasitas daerah benar-benar kolaps.

Bencana nasional dipahami sebagai kondisi yang dampaknya melampaui kemampuan pemerintah daerah dan provinsi. Menimbulkan gangguan serius terhadap sistem pemerintahan. Membutuhkan pengambilalihan komando dan sumber daya secara penuh oleh pemerintah pusat. Status nasional bukanlah tujuan. Melainkan alat yang dipakai ketika mekanisme normal tidak lagi memadai.

Masalahnya, kondisi Aceh saat ini tidak sepenuhnya berada dalam kategori itu. Pemerintahan daerah tetap berjalan, struktur birokrasi tidak runtuh, dan fungsi administrasi publik masih beroperasi. Lebih penting lagi, tanpa penetapan status bencana nasional sekalipun, pemerintah pusat secara faktual telah mengerahkan hampir seluruh potensi nasional yang relevan.

Lihat juga...