Kita juga sering melihat di lokasi bencana berubah menjadi “wisata bencana”. Banyak orang yang menonton bekas wilyah bencana. Dibanding SDM trampil dalam bekerja memulihkan bencana.
Pertanyaannya kemudian, mengapa tuntutan penetapan status bencana nasional tetap menguat?
Sebagiannya tentu lahir dari ketidaktahuan terhadap mekanisme penanggulangan bencana dan realitas teknis di lapangan. Namun tidak dapat diabaikan pula adanya motif politik.Status bencana nasional memiliki daya simbolik kuat dan mudah dipakai sebagai alat framing untuk membangun persepsi. Bahwa situasi sepenuhnya di luar kendali dan pemerintah gagal bekerja.
Dalam teori komunikasi politik, simbol sering kali lebih efektif membentuk persepsi publik dibandingkan data kinerja faktual. Akibatnya, fakta puluhan ribu personel yang bekerja, puluhan jembatan yang ditangani, dan puluhan helikopter yang beroperasi setiap hari kerap tenggelam di bawah narasi simbolik tersebut.
Dengan demikian, jika diukur secara hukum, operasional, dan teoritik, tuntutan penetapan status bencana nasional untuk Aceh saat ini memang tidak lagi relevan. Negara telah hadir secara nyata, sumber daya nasional telah dikerahkan secara masif, dan hambatan yang tersisa adalah hambatan teknis yang secara objektif membutuhkan waktu.
Penetapan status nasional tidak akan mempercepat pembangunan jembatan. Tidak akan mengalahkan batasan alam. Tidak akan menambah kapasitas kerja yang pada dasarnya sudah berada di titik optimal.
Dalam konteks ini, kebijakan yang tidak populis tetapi realistis justru mencerminkan kematangan tata kelola negara. Ukuran keberhasilan seharusnya tidak diletakkan pada simbol administratif. Melainkan pada efektivitas kerja, ketepatan keputusan, dan kemampuan negara menjaga rasionalitas di tengah tekanan opini publik.