Status “Bencana Nasional” Aceh Tidak Relevan

Dalam hitungan hari sejak bencana, pengerahan sumber daya dilakukan secara masif dan lintas sektor. Jika dihitung secara akumulatif lintas instansi dan lintas hari operasi, jumlah personel gabungan TNI, Polri, BNPB, Basarnas, kementerian teknis, dan relawan nasional mendekati puluhan ribu orang. Bahkan nyaris menyentuh angka lima puluh ribu personel di seluruh wilayah terdampak.

TNI tidak hanya mengerahkan pasukan kewilayahan, tetapi juga satuan zeni tempur dengan kelengkapan alat berat, jembatan bailey, ponton, dan perangkat konstruksi darurat. Puluhan jembatan strategis yang menjadi penghubung antar kecamatan dan antar kabupaten dilaporkan putus atau rusak berat. Sebagian di antaranya kehilangan fondasi akibat tergerus arus.

Di sektor udara, helikopter TNI AD, TNI AU, Polri, dan BNPB dioperasikan secara intensif. Jumlah wahana udara yang terlibat—baik yang siaga maupun yang beroperasi bergiliran—mencapai puluhan unit. Terdapat ratusan sortie penerbangan kumulatif untuk distribusi logistik, evakuasi medis, pemetaan wilayah terisolasi, dan mobilisasi personel.

Semua ini menunjukkan secara fungsional negara telah bekerja dalam mode nasional penuh. Meskipun tanpa label formal “bencana nasional”.

Hambatan utama di Aceh bukanlah kekurangan personel, anggaran, atau kemauan politik. Hambatan tersebut bersifat teknis dan alamiah. Banyak jembatan tidak sekadar rusak, tetapi hilang struktur penopangnya. Sehingga tidak mungkin dipulihkan secara instan.

Di sejumlah jalur, satu jembatan yang berhasil dipasang kembali belum otomatis membuka akses. Karena jembatan lain di ruas yang sama masih putus. Curah hujan tinggi, arus sungai deras, dan kondisi tanah yang labil memaksa penghentian sementara alat berat demi keselamatan kerja.

Lihat juga...