Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 18/12/2025
Bencana seharusnya menjadi ruang sunyi bagi empati, kerja bersama, dan keikhlasan. Ia hadir tanpa memilih korban. Tanpa mempertimbangkan kepentingan, dan tanpa memberi panggung bagi siapa pun.
Namun dalam kenyataan sosial kita, bencana kerap berubah menjadi arena lain: arena eksistensi, pencitraan, dan pertarungan narasi. Dalam kajian sosiologi bencana, kondisi ini dikenal sebagai disaster exploitation. Ialah situasi ketika tragedi kolektif dimanfaatkan untuk kepentingan non-kemanusiaan. Di sanalah muncul sosok-sosok yang tidak sekadar hadir untuk menolong. Tetapi juga menunggangi bencana.
Karakter utama para penunggang bencana adalah kecenderungan membesarkan diri dengan cara mengecilkan peran pihak lain. Mereka jarang berdiri sendiri. Keberadaannya selalu ditopang narasi pertentangan.
Pemerintah dilukiskan abai, lamban, atau tidak manusiawi. Sementara dirinya—atau kelompok yang diwakilinya—diposisikan sebagai satu-satunya harapan. Padahal, data penanganan bencana menunjukkan bahwa respons efektif hampir selalu bersifat multipihak.
Berdasar laporan UNDRR (United Nations Office for Disaster Risk Reduction), keberhasilan respons bencana bergantung pada koordinasi negara, komunitas lokal, dan aktor non-negara. Namun dalam logika penunggang bencana, kerja kolaboratif dianggap tidak menarik. Sedangkan yang menarik adalah konflik. Sebab konflik melahirkan sorotan dan membangun diferensiasi moral.
Dalam kasus bencana besar seperti banjir bandang Aceh, misalnya, narasi semacam ini kerap muncul. Peran negara dinihilkan, seolah seluruh proses penanganan hanya hidup karena kehadiran pihak asing atau aktor tertentu.