Kasus Hukum dalam Penanganan Bencana

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 25/12/2025

 

 

Bencana alam selalu menghadirkan paradoks dalam tata kelola negara. Di satu sisi, ia menuntut kecepatan, fleksibilitas, dan diskresi luar biasa dari pemerintah. Di sisi lain, justru pada situasi darurat inilah risiko penyalahgunaan kewenangan dan korupsi meningkat tajam.

Dalam dua hingga tiga dekade terakhir di Indonesia, berbagai kasus hukum menunjukkan penanganan bencana bukan hanya soal kemanusiaan. Tetapi juga arena pertarungan kepentingan, kekuasaan, dan akuntabilitas publik.

Secara empiris, sejumlah kasus hukum menegaskan dana dan logistik kebencanaan merupakan sektor sangat rentan. Tragedi tsunami Aceh 2004 menjadi contoh paling menonjol. Selain keberhasilan rekonstruksi berskala besar, Aceh juga mencatat berbagai perkara hukum.

Abdullah Puteh, Gubernur Aceh saat itu, dipidana dalam kasus korupsi anggaran daerah. Konteks waktunya beririsan dengan masa bencana dan rekonstruksi. Termasuk terkait pembelian heli dan dana administrasi lain sebelum dan atau pascatsunami.

Farid Rasyid Faqih, Koordinator Government Watch (GOWA), diproses hukum karena pengambilan bantuan kemanusiaan tanpa prosedur formal. Ditetapkan sebagai tersangka dan divonis penjara karena mengambil/menyalahgunakan bantuan kemanusiaan pada masa tanggap darurat tsunami 2004–2005.

Fase rehabilitasi dan rekonstruksi, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh–Nias (BRR) berkali-kali diaudit akibat indikasi penyimpangan pengadaan barang dan jasa. Sebagian di antaranya berujung perkara pidana terhadap pejabat pelaksana.

Mantan pegawai BRR menjadi terdakwa dan terpidana korupsi dalam kasus pengadaan buku satu tahun BRR NAD-Nias. Proyek percetakan buku anniversary. Ia divonis satu tahun penjara dan denda. Menjadi buron dan akhirnya ditangkap kembali untuk menjalani eksekusi putusan Mahkamah Agung.

Lihat juga...