Kasus Hukum dalam Penanganan Bencana

Dari sudut pandang ekonomi politik, bencana juga dapat dipahami sebagai “shock” yang menciptakan ruang rente baru. Naomi Klein menyebutnya sebagai disaster capitalism. Ialah kondisi ketika krisis dimanfaatkan untuk mempercepat proyek, melonggarkan regulasi, dan melemahkan kontrol publik.

Dalam konteks Indonesia, praktik korupsi kebencanaan mencerminkan logika serupa. Keadaan darurat kerap dijadikan justifikasi menormalisasi pelanggaran tata Kelola. Baik di tingkat pusat maupun daerah.

Di titik inilah peran Presiden Prabowo Subianto menjadi signifikan dan patut dibaca sebagai respons langsung terhadap pelajaran historis tersebut. Penempatan penanganan bencana di bawah kendali kuat presiden mencerminkan kesadaran bahwa persoalan utama kebencanaan bukan semata kurangnya sumber daya, melainkan lemahnya kontrol.

Dalam situasi krisis, Prabowo tampak menegaskan bahwa kecepatan negara harus berjalan seiring dengan disiplin komando dan pertanggungjawaban politik yang jelas. Kontrol langsung presiden dimaksudkan untuk menutup celah klasik yang selama ini dimanfaatkan untuk penyimpangan. Ialah fragmentasi kewenangan antar kementerian, tarik-menarik pusat–daerah, serta kaburnya garis tanggung jawab.

Pendekatan ini secara teoritik sejalan dengan model centralized crisis governance. Konsolidasi kekuasaan di tingkat tertinggi negara dipandang sebagai instrumen menjaga integritas kebijakan dalam kondisi darurat. Dengan presiden berada di pusat pengambilan keputusan, ruang improvisasi birokrasi yang tidak terawasi dapat dipersempit. Pesan politik tentang intoleransi terhadap penyimpangan dikirimkan secara tegas hingga ke level pelaksana.

Lihat juga...