Bantuan Kemanusiaan Asing dan Tekanan Diplomatik

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 25/12/2025

 

 

Bantuan kemanusiaan secara ideal dimaknai sebagai respons moral dan kemanusiaan atas penderitaan manusia. Terlepas dari identitas politik, hukum, atau kepentingan negara.

Prinsip netralitas, imparsialitas, dan independensi menjadi fondasi utama dalam hukum humaniter internasional. Namun prakteknya bantuan kemanusiaan kerap berada dalam ruang abu-abu. Antara solidaritas dan kepentingan.

Ia sering menjadi modal diplomatik yang melahirkan tekanan terhadap negara penerima. Baik tekanan halus maupun terbuka. Fenomena ini dapat dicermati secara nyata melalui berbagai kasus yang dialami Indonesia maupun praktik global.

Bagaimana dengan Indonesia?

Pertama, kasus tsunami Aceh 2004. Contoh paling sering dikutip dalam diskursus hubungan antara bantuan kemanusiaan dan tekanan diplomatik. Australia tampil sebagai salah satu donor terbesar. Mengirim bantuan militer non-tempur, tenaga medis, logistik, serta dana rekonstruksi jangka panjang.

Bantuan ini secara signifikan memperbaiki hubungan bilateral Indonesia–Australia pasca ketegangan Timor Timur. Hampir bersamaan, pemerintah Australia secara konsisten melobi Indonesia terkait kasus Schapelle Corby. Warga negaranya yang divonis dalam perkara narkotika di Indonesia.

Tekanan tidak disampaikan sebagai tuntutan resmi. Melainkan melalui pernyataan pejabat tinggi. Nota diplomatik. Kampanye media. Semua membingkai Corby sebagai isu kemanusiaan.

Hasil akhirnya serangkaian remisi, pembebasan bersyarat, dan pemulangan ke Australia. Meski tidak pernah diakui sebagai barter. Rangkaian peristiwa ini menunjukkan bagaimana bantuan kemanusiaan menciptakan goodwill yang kemudian digunakan sebagai leverage (daya ungkit) diplomatik.

Lihat juga...