Amuk Demonstran dan Tiga Celah Tikam
Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 01/09/2025
Bagaimana menjelaskan demonstrasi Agustus 2025?. Kenapa terjadi “amuk”?. Fenomena psikologis ledakan kemarahan ekstrem. Massa aksi melakukan perusakan fasilitas-fasilitas publik?.
Rumah sejumlah anggota DPR dijarah dan dirusak. Rumah sejumlah pejabat, seperti kediaman Menkeu. Pos-pos polisi dibakar. Driver ojek online tewas. “Amuk” itu menjalar ke daerah.
Mari kita terlusuri. Kita cermati fenomena itu melalui analisa berikut:
Pertama, respons terhadap elitisisme-glamourisme-apatisme sejumlah pejabat. Amuk merupakan ekspresi kemarahan rakyat atas elitisisme-glamourisme-apatisme itu. Pejabat dianggap acuh tak acuh, bahkan berpesta pora di tengah kesulitan rakyat.
Fenomena seperti itu memiliki justifikasi teoritik. “Relative Deprivation Theory” (Gurr, 1970), menyatakan: ketika rakyat melihat kesenjangan antara kondisi mereka dan perilaku elit, muncul frustrasi. Termanifestasi dalam bentuk kemarahan kolektif.
Berdasar data, tahun 2025, inflasi pangan 8–9% (yoy). Harga beras – cabai di atas 30%. Daya beli turun. Indeks Keyakinan Konsumen BI sempat jatuh ke level 70-an (terendah sejak pandemi). PBB naik.
Di sisi lain, publik menyaksikan sejumlah anggota DPR merayakan kenaikan gaji dan tunjangan. Kontradiksi ini memperkuat persepsi ketidakadilan itu.
Kedua, saluran terbatas dalam mengatasi situasi.
Sejumlah masyarakat merasakan penurunan daya beli. Terjadi inflasi, lapangan kerja stagnan, dan biaya hidup makin mahal. Namun tidak ada solusi jangka pendek. Terjadi penumpukan frustrasi publik. Dilampiaskanlah dalam bentuk “amuk” ketika ada momentum yang tepat.