Sejalan dengan “Frustration-Aggression Hypothesis” (Dollard et al., 1939). Frustrasi akibat kebutuhan tidak terpenuhi mudah berubah menjadi agresi. Senada pula “Structural Strain Theory” (Smelser, 1962). Menyatakan: ketika struktur sosial gagal menyediakan sarana untuk mencapai tujuan, tekanan sosial meningkat. Berujung pada kemungkinan konflik.
Ketiga, provokasi dan konsolidasi kebencian melalui media sosial. Barisan sakit hati (BSH) oleh kekalahan politik, memanfaatkan media sosial memprovokasi massa. Segala hal yang menyulitkan rezim berkuasa, akan merupakan hiburan tersendiri bagi BSH. Targetnya: rezim berkuasa gagal.
“Contagion Theory” (Le Bon, 1895): emosi dan perilaku agresif menular dalam kelompok, dipercepat media sosial. Teori “Social Amplification of Risk” (Kasperson et al., 1988). Menyatakan media sosial memperbesar persepsi ketidakadilan atau ancaman. Massa menjadi lebih cepat marah. Deepfake, hoaks, atau narasi politik partisan bisa memicu konflik yang sebelumnya tidak ada.
Keempat, fenomena geopolitik dan gangguan internal. Adanya kemungkinan campur tangan eksternal untuk menikam Indonesia dari dalam. Agresivitas politik luar negeri Indonesia juga bisa memicu timbulnya ketegangan internal. Memancing kekuatan-kekuatan global untuk meredakan agresivitas Indonesia itu dari dalam negeri Indonesai sendiri.
Sudut pandang ini didukung “External Threat Theory”. Ancaman eksternal bisa meningkatkan ketegangan internal jika elit atau faksi domestik terlihat gagal menghadapi ancaman. Ketidakpastian geopolitik, sanksi ekonomi, atau krisis regional bisa memperburuk frustrasi ekonomi dan politik domestik. Kemudian memicu kerusuhan.