Demonstrasi: “Instrusi Magma Sosial”

Demonstrasi: “Instrusi Magma Sosial”

 

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 26/08/2025

 

 

Apa itu “intrusi magma?”. Juga “instrusi magma sosial?”.

“Istrusi magma” merupakan istilah geologi. Proses magma menembus celah, retakan, lapisan batuan, pada puncak gunung api. Magma keluar melalui rembesan. Tidak sebagai letusan vulkanik dahsyat.

“Instrusi magma sosial” merupakan metafora. Istilah yang dipinjam dari istilah geologi itu. Adalah saluran kemarahan dan kekecewaan sosial. Sehingga tidak tumbuh sebagai ledakan sosial yang dahsat.

Itulah gambaran demonstrasi. Sebagaimana terjadi tanggal 25 Agustus 2025. Di gedung DPR/MPR. Juga di daerah-daerah.

Di awali “Gejayan Memanggil”. Ikon “parlemen jalanan” Yogyakarta. Gejayan masih punya aura sebagai penggerak aksi-aksi gerakan mahasiswa. Sejak reformasi 1998.

Ketika resah terhadap perilaku kekuasaan, seruan “Gejayan Memanggil” masih bisa menjadi magnet publik untuk bersatu. Turun jalan. Aksi bersama di Gejayan Yogyakarta. Menyuarakan perlawanan terhadap apa yang dinilai sebagai “kezaliman kekuasaan”. Kemudian gerakan itu merembes ke kota-kota lain.

Resonansi “Gejayan Memanggil” itu menggerakkan aksi demonstrasi mahasiswa ke Gedung DPR/MPR RI. Tanggal 25 Agustus 2025 kemarin. Melawan kenaikan gaji anggota DPR yang tidak peka dengan kesulitan masyarakat. Bagkan menari-nari di gedung terhormat. Itulah narasi yang dibangun demo itu.

Demonstrasi sebagai “instrusi magma sosial” memiliki justifikasi teoritik. Banyak teori mendukung fenomena itu.

Teori “Fungsional Konflik” – Simmel (1908) & Coser (1956). Inti teori: konflik tidak selalu destruktif. Konflik yang tersalurkan berfungsi sebagai “katup pengaman”. Mencegah stagnasi sosial dan memelihara kohesi. Ketidakpuasan publik dimetaforakan sebagai magma. Dialirkan melalui aksi protes atau diskusi terbuka. Tidak meledak. Tapi menstabilkan struktur sosial