Teori “Exit–Voice–Loyalty” – Hirschman (1970). ketika kualitas/ layanan pemerintahan menurun, warga memilih exit atau voice. Demonstrasi adalah voice. Saluran formal/non-formal untuk mencegah akumulasi tekanan menjadi “ledakan”.
Teori “Ruang Publik” – Habermas (1962). Protes dan diskusi terbuka memperluas public sphere. Keluhan diproses deliberatif sehingga tidak meledak sebagai kekerasan.
Teori “Deprivasi Relatif” – Ted Gurr (1970). Jurang antara harapan vs capaian memicu potensi kekerasan. Kanal partisipasi (demo) menurunkan tekanan itu. Sebelum bertransisi menjadi kekerasan kolektif.
Teori “Strain / Value-added” – Neil Smelser (1962). Perilaku kolektif butuh serangkaian kondisi. Menyediakan struktur penyaluran (ruang berkumpul, jalur legal protes). Mengubah arah dari eskalasi destruktif ke ekspresi terkelola.
Teori “Mobilisasi Sumber Daya” – McCarthy & Zald (1977). Gerakan efektif ketika ada organisasi. Negara yang membuka kanal protes menurunkan biaya penyaluran keluhan. Tekanan tidak mencari jalan kekerasan.
Teori “Contentious Politics” – Tilly (1978), Tarrow (1998), McAdam (1996). Ketika struktur peluang terbuka (izin, media, elite split), protes menjadi kanal aman. Ketika tertutup, tekanan cenderung mencari keluaran eksplosif.
Teori “Represi–Dissent Nexus” – Davenport (2007); Chenoweth & Stephan (2011). Represi dengan menutup saluran protes bisa backfire. Memicu mobilisasi lebih besar. Menyediakan kanal protes yang aman justru meredam eskalasi.
Teori “J-Curve revolusi” (James C. Davies): – Davies, When Men Rebel (1962). “Kekecewaan setelah harapan naik” memicu ledakan. Protes damai bekerja sebagai pelepas tekanan. Sebelum kurva jatuh memicu kekerasan.