Amuk Demonstran dan Tiga Celah Tikam

Kelima, pelampiasan terhadap oknum faksi politik tertentu. Demonstrasi dimanfaatkan untuk (dianggapnya) pembersihan terhadap oknum yang dinilai mencederai rakyat. Massa aksi ingin “membersihkan” oknum yang dianggap tidak peduli rakyat itu.

Persektif ini didukung “Emergent Norm Theory” (Turner & Killian, 1987). Dalam kerumunan, norma baru muncul. Tindakan yang biasanya dianggap ekstrem, bisa dipandang sah. Juga bisa dilihat dari perspektif “Deindividuation” (Zimbardo, 1969). Identitas individu hilang dalam massa. Aksi ekstrem bisa muncul sebagai “pelampiasan kolektif”.

Perlu dicermati pula secara serius, “amuk” ini membuka celah lebih lebar intervensi eksternal. Setidaknya ada tiga peristiwa yang saling bersusulan. Kasus Ambalat, penembakan WNI di perbatasan Timor Leste. Terakhir amuk, di Jakarta yang merembet ke daerah-daerah.

Di perbatasan, Indonesia berpotensi diadu dalam dua front. Indonesia dibuat mati gaya atas desakan “pengelolaan bersama” atas Ambalat dengan Malaysia. Tegas dengan standar kedaulatan, berarti masuk perangkap: Indonesia berkonflik dengan Malaysia. Jika menerima “pengelolaan bersama” dianggap lembek oleh publik dalam negeri.

Timor Leste juga bisa menjadi triger masuknya intervensi asing. Jika terpancing dengan penembakan warga Indonesia di perbatasan, akan memancing masuknya campur tangan negara besar lainnya.  Jika tidak tegas, tentu dipandang tidak kompeten melindungi warga perbatasan.

Tiga hal itu (Ambalat, Timor Leste, amuk massa), bisa menjadi celah menikam Indonesia dari dalam. Untuk menjadikan agresivitasnya dalam politik luar negeri menjadi lemah. Pijakan moralnya rapuh. Bagaimana menjadi jembatan konflik regional, bahkan global, jika di dalam negeri masih ada masalah.

Lihat juga...