Mendambakan Bhayangkara Indonesia Meneladani Yudhistira

ESAI BUDAYA

OLEH THOWAF ZUHARON

Di antara gegap-gempita Mahabharata—dentang senjata, raungan ambisi, dan kilau kekuasaan—ada satu sosok yang justru berjalan pelan.

Tidak menghardik, tidak memekikkan kemenangan, dan tidak mabuk oleh kuasa.

Dialah Yudhistira, raja sekaligus penjaga hukum. Dalam dunia wayang, Yudhistira bukan pahlawan yang memikat mata, melainkan penjaga keseimbangan yang menenangkan jiwa.

Yudhistira disebut Ajathasatru—ia yang tak punya musuh.

Bukan karena dunia tak pernah mengusiknya, melainkan karena ia memilih tidak memusuhi manusia, bahkan ketika ia harus menegakkan hukum.

Di situlah letak keagungan yang sering luput dari dunia penegakan hukum modern: kekuasaan tanpa dendam, hukum tanpa kebencian.

Hari ini, ketika Bhayangkara Indonesia berdiri di persimpangan sejarah—antara kekuasaan dan kepercayaan publik—Yudhistira seakan mengulurkan cermin kebudayaan: apakah hukum ditegakkan untuk menang, atau untuk memulihkan?

Hukum sebagai Laku Batin, Bukan Sekadar Pasal

Dalam Mahabharata, Yudhistira adalah titisan Dewa Dharma.

Artinya, hukum bukan sekadar aturan tertulis, melainkan laku hidup.

Ia tidak hanya menguasai kitab, tetapi menghidupi makna. Bahkan ketika memenangkan perang Bharatayudha, Yudhistira justru diliputi duka—sebab hukum sejati tidak pernah bersukacita di atas penderitaan manusia.

Pepatah Jawa mengingatkan: Menang tanpa ngasorake (Menang tanpa merendahkan).

Inilah hukum yang dewasa: tidak memamerkan kekuasaan, tidak menjadikan borgol sebagai simbol kejantanan, dan tidak menjadikan senjata sebagai bahasa pertama.

Bhayangkara yang belajar dari Yudhistira akan paham bahwa kewibawaan lahir dari pengendalian diri, bukan dari ketakutan yang dipaksakan.

Lihat juga...