MBG Bisa, Terowongan Rel Bawah Laut Selat Sunda dan Bali Mestinya Bisa

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 26/12/2025

 

 

Tulisan ini tidak disusun ahli transportasi, ahli teknik sipil, maupun ekonom. Ditulis penelusur data, yang mengumpulkan, membaca, dan menyandingkan berbagai sumber terbuka. Mulai dari dokumen kebijakan publik, laporan kementerian, studi infrastruktur global, hingga praktik nyata di berbagai negara. Kemudian menjahitnya menjadi satu narasi utuh.

Seluruh gagasan, angka, estimasi, dan asumsi disajikan dalam tulisan ini perlu dan harus dikonfirmasi. Diuji, serta diperdalam para ahli di bidangnya masing-masing. Tulisan ini dimaksudkan sebagai pemantik diskusi berbasis data dan rasionalitas kebijakan. Bukan sebagai kesimpulan teknis final.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Telah lama menghadapi tantangan fundamental dalam hal konektivitas fisik antar pulau. Ketergantungan pada moda transportasi laut yang tidak terintegrasi dan infrastruktur darat yang belum menyentuh semua koridor. Transportasi berkontribusi pada biaya logistik yang tinggi. Pada saat ini mendekati 14,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Angka ini jauh di atas negara-negara industri. Menjadi salah satu penyebab utama rendahnya daya saing distribusi barang nasional. Pemerintah menetapkan target penurunan biaya logistik menjadi 8% dari PDB. Beban logistik yang tinggi berpengaruh langsung terhadap efisiensi industri, inflasi harga barang, dan daya saing ekonomi Indonesia di panggung global.

Pada satu sisi, realitasnya pemerintah mampu mengalokasikan sekitar Rp 300 triliun untuk program MBG (Makan Bergizi Gratis) pertahun. Memperlihatkan kapasitas fiskal yang nyata. Gambaran fleksibilitas APBN dalam mendukung program berskala besar berdampak luas.

Lihat juga...