Oleh: T. Taufiqulhadi
(Mantan Anggota DPR RI)
Orang Amerika merasa negerinya kini seperti tengah menhadapi musibah bukan alang kepalang besarnya. Padahal selama ini, negeri merekalah yang selalu menimpakan musibah ke batok kepala orang lain: tidak suka kepada Mullah Mohammad Omar, mereka runtuhkan pemerinatah Taliban Aghanistan; tidak suka kepada Saddam Hussien, mereka bumi hanguskan Irak hingga rata dengan tanah; dan tidak suka kepada Muammar Ghadafi, ia perintahkan Inggris untuk membantai sebanyak mungkin rakyat Libya dan memporak-porandakan negeri itu hingga tujuh turunan rakyat Libya pun tidak bisa bangkit lagi.
Kini musibah itu kelihatannya seperti sedang berbalik arah dalam perjalanan kembali menuju ke negeri federatif tersebut. Walau jenis musibah itu tidak sesegera mungkin dapat membuat negeri tersebut berubah menggenaskan seperti buah tangan mereka di atas Irak atau Suriah, tapi setidaknya membuat rakyat Amerika pusing tujuh keliling.
Bayangkan, jika angin tidak berubah-ubah arah sesukanya, dalam pemilu Amerika awal November mendatang dua prediket tua akan bertarung habis- habisan: sang petahana dari Partai Demokrat Joe Biden, dan jago Partai Republik Donald Trump.
Kalau urusan kedua kandidat ini adalah biasa-biasa saja maka tak jadi soal. Tapi urusannya tidak biasa-biasa saja. Kehadiran kedua mereka ini sulit dicerna hati rakyat Amerika, yang selalu ingin sempurna dan hebat. Memilih salah satu dari dari kedua kakek ini jauh kesan Amerika sempurna dan hebat. Kecuali kesan Amerika kini telah kehabisan stock manusia sehat dan waras sehingga orang seperti Biden yang sering lupa tentang nama sahabat dekatnya, dan mungkin nama istrinya, dan Trump yang sering lupa bahwa semua negara di muka bumi kudu ada Undang-undang Dasarnya, termasuk negerinya sendiri, harus masuk dalam urusan pikiran para pemilih di negara digdaya yang selalu ingin menang itu.