HAM: Idealisme Universal dan Realitas Politik Global

Padahal baik ICCPR maupun ICESCR menekankan cooperation antarnegara dan mencegah penggunaan HAM sebagai alat politik adu kuasa. Tetapi praktik geopolitik menunjukkan bahwa HAM bisa menjadi instrumen hegemoni. Bukan sekadar norma moral.

Universalitas HAM juga sering dijadikan alat pelemahan eksistensi bangsa. Kritik ini terutama muncul dari negeri-negeri Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang memiliki sejarah kolonialisme. Mereka berpendapat standar HAM internasional sering: mengabaikan nilai sosial-budaya lokal, menomorduakan kohesi komunal, dan mengurangi ruang negara untuk mempertahankan identitas nasional.

MDB (Malaysia–Singapore Asian Values Debate), misalnya, menyatakan bahwa HAM versi Barat terlalu menekankan hak individu. Sementara masyarakat Asia cenderung menjunjung: harmoni sosial, hierarki budaya, otoritas moral komunitas, dan prioritas stabilitas nasional.

Dalam konteks ICESCR, hak atas kesejahteraan seringkali lebih mendesak bagi negara berkembang dibandingkan hak-hak sipil-politik. Namun tekanan internasional sering kali lebih besar pada isu ICCPR (kebebasan sipil), sehingga keseimbangan antara keduanya terganggu.

Di sisi lain, HAM dapat menguatkan aktor non-negara (LSM, kelompok identitas, organisasi transnasional) untuk menekan negara melalui jalur internasional. Dalam kondisi tertentu, hal ini dapat menimbulkan fragmentasi politik, yang pada akhirnya mengganggu ketahanan nasional.

John Gray dan Michael Ignatieff memperingatkan bahwa moralitas universal yang tidak sensitif terhadap konteks dapat berujung pada erosion of sovereignty. Pengikisan ruang negara untuk menjaga integrasi dan identitasnya.

Lihat juga...