Ziarahku, Jalan Sunyi Cinta Abadi

CERPEN YULIANTORO

CERPEN – Sudah menjadi bagian dari hidupku, hampir setiap hari aku menyempatkan diri untuk berziarah ke makam bapak dan ibu.

Biasanya selepas waktu Surya —saat matahari baru muncul setelah Subuh— aku melangkah pelan dari masjid menuju pemakaman yang tidak jauh dari rumah.

Kadang juga malam hari, setelah selesai jamaah Isya, aku singgah sebentar.

Tak membawa apa-apa, hanya hati yang ingin tenang, dan rindu yang tak pernah selesai.

Ziarah ini bukan rutinitas kosong. Ini adalah caraku menjaga hubungan dengan orang tuaku.

Karena bagiku, bapak dan ibu tidak benar-benar mati. Hanya jasadnya yang tak lagi di dunia.

Ruh mereka tetap hidup, menjalani fase baru di alam barzakh. Aku datang bukan untuk sekadar mengingat, tapi untuk menyapa, mendoakan, dan merasa dekat.

Setiap kali sampai di pusara, aku beri salam lembut, “Assalamu’alaikum, Pak… Bu… Al-Fatihah.”

Hanya itu, tapi cukup untuk membuat hati ini hangat. Kadang aku duduk lama, membaca salawat, tahlil, atau lantunan ayat Alquran.

Sampai hati terasa ringan, pikiran lebih jernih, dan rindu sedikit reda. Bahkan tak jarang, aku hanya duduk diam, menatap nisan, membiarkan angin berbicara dengan jiwaku.

Begitu pula saat pulang ke Wonosobo, tempat kelahiranku. Hal pertama yang aku lakukan bersama istriku adalah ziarah ke makam bapak.

Letaknya sangat dekat dengan rumah. Rasanya seperti panggilan yang datang dari dalam dada.

Tanpa perlu alasan, kaki ini selalu menuju ke sana. Hanya untuk memberi salam, dan mengirim Al-Fatihah.

Tapi justru dari hal yang sederhana itu, aku merasa seperti pulang dengan sepenuh jiwa.

Di makam itu, aku tak hanya bertemu dengan kenangan, tapi juga menemukan ketenangan.

Lihat juga...