Gumincuk

CERPEN MARIA M. BHOERNOMO

“AKU pernah jadi Gumincuk,” ujar kakek dengan mata menerawang, mengawali ceritanya tentang Zaman Jepang.

Disebut Zaman Jepang, karena saat itu, tahun 1943-1945 tentara Jepang yang sedang terlibat Perang Dunia II memasuki wilayah Indonesia. Dengan kejam, tentara Jepang melakukan pemerasan, penindasan dan pemerkosaan serta pembunuhan.

Banyak rakyat tewas menjadi korban kekejaman mereka. Mayat-mayat dengan luka tembak maupun luka sabetan pedang bergelimpangan di sepanjang jalan.

“Gumincuk itu apa, Kek?” tanyaku.

“Gumincuk itu sebutan untuk relawan yang bertugas mengevakuasi mayat-mayat korban kekejaman tentara Jepang untuk dimakamkan secara massal,” jawab kakek.

Kupandangi kakek yang sedang duduk di bangku bambu di beranda rumah. Dengan tinggi 170 cm, tubuhnya masih menyiratkan sisa-sisa keperkasaan meskipun telah tua. Aku menduga semasa mudanya kakek cukup perkasa sehingga bisa empat kali menikah. Almarhumah nenekku, atau perempuan yang melahirkan ibuku, adalah istri pertama kakek.

Setelah nenekku wafat, kakek menikah lagi dengan tiga perempuan tapi bukan berpoligami, karena pernikahan ketiga dilakukan setelah bercerai dengan istri keduanya, sedangkan pernikahan keempat dilakukan setelah bercerai dengan istri ketiganya.

Menurut cerita ibu, kakek menceraikan istri kedua dan istri ketiganya karena mereka tidak bisa menjadi ibu tiri yang mau mengasuh ibu dengan cinta dan kasih sayang. Masing-masing mereka ketika menjadi istri kakek berlaku kejam terhadap ibu sebagai anak tiri.

Mataku masih memandangi kakek dengan membayangkan kisah hidupnya yang penuh liku-liku. Kakek pasti sangat sayang kepada ibu, sehingga terpaksa menceraikan istri keduanya dan kemudian menikah lagi. Tapi bercerai lagi karena tidak mau melihat ibu menderita diperlakukan kejam oleh ibu tiri. Sungguh sulit memang mencari ibu tiri yang mau mengasuh anak tiri dengan cinta dan kasih sayang.

Lihat juga...