Adil tak Hanya Kata

CERPEN ARIDA SURYA DEWI

Hiruk pikuk suara klakson kendaraan saling bersahutan, memekik merambat di udara, melewati seluk beluk gang sempit. Mentari terus berpijar dengan terik serta asap yang semakin memenuhi setiap sudut bangunan.

Gemerisik derap langkah kaki yang terdengar tak sabar, berdesak-desakan memadati jalanan, membuat udara kian terasa menguap ganas bak menjerat kerongkongan.

Namun, hal itu seperti tak mengalihkan perhatian seorang pria paruh baya yang tengah mengorek sebuah tong besar berisi sisa-sisa sampah, baunya yang tak sedap telah menggumul bercampur udara pengap kota.

Tangan kasar berkulit sawo matang yang terlihat lemah itu menyibak setiap barang yang ditemuinya, membolak-balik dengan telaten. Mata yang berbinar itu menatap tajam, menyiratkan harapannya untuk seonggok makanan sisa yang masih pantas untuk diterima perut. Menghiraukan peluh yang terus mengucur di sekujur tubuh rentanya.

Aku meringis. Masih terpaku akan hal yang sedari tadi menyita perhatianku. Helaan napas yang pasrah mengetahui kenyataan. Aku menyayangkan seorang pemulung yang malang nasibnya menyerupai nasib diri sendiri. Mataku menatap kosong, belum bergeser sedikit pun dari tempat dudukku semula di kursi pinggir kota.

“Apakah dunia ini sudah adil?” gumamku berbisik.

Ada rasa sesak dalam hati, sekejap teringat akan sulitnya melalui kehidupan. Anganku melayang pada suatu kejadian yang tak terlupakan, semua episode masa lalu berkelibat nyata. Mataku menatap kosong pada hamparan ilalang tak jauh dari tempat pria paruh baya itu berdiri.

***

“Bu! Sekali saja menuruti keinginanku, apa itu sulit untukmu?” Mataku membelalak lebar, kedua alisku bertaut marah, raut wajah yang memanas bak perapian. Masih menatap tajam ke arah tempat beliau terduduk tenang.

Lihat juga...