Adil tak Hanya Kata

CERPEN ARIDA SURYA DEWI

Aku menangis. Air mata itu tak dapat lagi kutahan setelah mendengar penuturan Ibu. Aku ini memang anak yang tidak tahu diri. Aku menyadari itu, Bu.

Aku ini anak yang tidak tahu diuntung. Aku hanya mementingkan egoku dan sama sekali tak mempedulikan bagaimana susah payah Ibu bekerja keras untuk memenuhi permintaanku. Aku menghela napas berat, beralih menatap lekat-lekat kedua mata wanita yang begitu aku cintai.

“Maafkan Rahma, Bu…”

Ibu mengusap kepalaku, tak membalas ucapan apa pun, namun beliau tersenyum. Aku menunduk, segera mengusap air mataku. Sesaat kemudian, kejadian tadi berkelebat di benakku.

Aku masih penasaran akan maksud gadis itu, cerita yang terasa memilukan namun tak dapat kupahami sepenuhnya. Aku masih tak bisa memahami penderitaannya. Aku kembali menatap Ibu, kuceritakan padanya tentang hal yang mengganggu pikiranku, hal yang diutarakan oleh gadis di pelataran.

Ibu kembali bersandar pada dinding, tanpa melepaskan genggamannya, ia mengusap tanganku dengan lembut. Manik matanya menatap jam yang telah menunjukkan pukul enam lebih, menatap kosong namun seperti menyiratkan sebuah makna.

Beliau terus menatap ke arah jam itu, sebelum kemudian kembali ke arahku. Ia tersenyum dengan senyuman yang begitu menentramkan hati.

“Nak, jika semua orang mendapat ketidakadilan, bukankah itu adil?”

“Tuhan telah menetapkan sesuatu yang tak kita mengerti. Sesuatu yang indah. ”

“Dunia ini sudah adil, Rahma.” ***

Arida Surya Dewi, lahir di Malang, Jawa Timur, 23 Juni 2004. Baru saja menyelesaikan studi SMA. Karya pertama dimuat di buku berjudul Ilalang, Lembing dan Senja, merupakan kumpulan 20 cerpen terbaik tingkat SMP/SMA.

Lihat juga...