Ia segera mengusap air matanya, aku mengerti. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan orang lain. Aku menunduk, masih berusaha memahami situasinya. Aku tahu, namun belum terlalu paham akan sikap gadis itu.
Orang tuanya sudah memenuhi segala kebutuhannya, ia berada dalam keluarga yang mampu, kurasa. Lalu apa yang membuatnya berduka hati seperti ini?
***
Kupandangi rumah yang masih tampak berdiri kokoh bertahun-tahun lamanya. Tak kukatakan luas, namun ukurannya tak terlalu sempit untuk dijadikan tempat tinggal. Atapnya reot, namun masih dapat menahan air hujan dan terik mentari. Inilah warisan peninggalan mendiang Bapak, satu-satunya yang Beliau tinggalkan untukku dan Ibu.
Aku melangkah perlahan, hendak memasuki rumah. Ada rasa tak enak dalam hati, sebab telah menghiraukan Ibu, aku yakin beliau mengkhawatirkanku. Langit sudah berubah gelap sedari tadi saat aku meninggalkan pelataran untuk kembali pulang.
Aku mematung sejenak. Menyadari keberadaan Ibu di kursi ruang tamu. Tengah duduk. Beliau tampak bersandar pada dinding di belakangnya, matanya tertutup dengan raut wajah yang terlihat lelah. Buru-buru aku menghampiri, menemani di sebelahnya.
Kupandangi tangan Ibu yang sudah renta, terlihat memar di jemari-jemarinya. Aku menghela napas. Ibu pasti sudah bekerja dengan keras. Untukku.
Aku meringis. Sebisa mungkin menahan air mataku yang mendesak hendak jatuh. Kugenggam tangan Ibu, aku menciumnya lembut.
“Maafkan aku, Bu.” tuturku dalam hati.
Tak lama, Ibu membuka kedua matanya. Ternyata ia menyadari kehadiranku. Dengan cepat ia bangkit, mengeratkan genggaman tangannya.
“Nak, kamu dari mana saja? Kamu belum makan, Nak. Maafkan Ibu. Ibu berjanji padamu untuk membelikan sepatu baru. Ibu akan usahakan, Ya?”