Adil tak Hanya Kata

CERPEN ARIDA SURYA DEWI

Ibuku, wanita yang telah mengandungku sembilan bulan itu terdiam, terpaku menatap balik ke arahku. Wajah yang telah terbalut kulit keriputnya, menyiratkan dengan jelas bahwa ia lelah menghadapi sikapku yang memang terlampau egois.

Ibu menghela napas, sebelum akhirnya menyahut tuturku, “Nak, maafkan ibumu ini yang serba keterbatasan, hingga tak bisa menuruti hampir semua keinginan hatimu.”

“Maafkan Ibu, Rahma.”

Suara lemah itu tercekat, sedetik kemudian terdengar parau, hendak menangis. Ibu memandangi wajahku, tatapannya lembut namun bak tombak yang menghujamku.

Terbesit di pikiranku perasaan tak tega. Sudah terlambat. Aku sudah membentak Ibu. Aku pun tak dapat membohongi diri, bahwa jauh di dalam hatiku aku juga marah pada Ibu, karena ketidakmampuannya menuruti permintaanku.

Ini tak sepenuhnya salahku, bukan? Aku menginginkan sepatu sekolah baru. Lihatlah sendiri Ibu, sepatu lamaku hampir tak bisa dikatakan layak.

Koyakan terlihat di sisi kanan maupun kiri. Kotor. Sepatu lamaku sudah terlihat seperti rongsokan. Aku tidak peduli pada keadaan Ibu, Aku malu bila bersanding dengan teman-teman sebayaku yang memiliki sepatu-sepatu bagus pemberian kedua orang tuanya.

Salahkah diri bila iri dengan orang lain yang memiliki apa yang tidak aku miliki? Wajar bukan, Bu? Aku juga manusia biasa.

Aku mengalihkan pandangan, tidak berani menatap kedua mata Ibu. Dalam hati menggerutu, mengutuk diriku sendiri yang telah berpikir demikian, namun tetap teguh pada pendirian hati. Tak menyalahkan hasrat ego-ku yang ingin terpenuhi. Aku tetap kecewa pada Ibu.

Tanpa kusadari, langkah kaki membawaku berbalik keluar rumah. Terus melangkah tanpa memedulikan parau suara Ibu yang memanggili namaku. Aku bergegas. Berlari menerobos gang sempit dekat lapangan tandus yang membentang.

Lihat juga...