“Jangan ada kuburan massal yang diberi nisan!” bentak komandan regu tentara Jepang kepada kakek.
Kakek tidak berani membantah. Dalam ketakutan, kakek mencoba mengerti kenapa semua kuburan massal tidak boleh diberi nisan sebagaimana lazimnya kuburan. Pasti karena tentara Jepang ingin menghapus jejak-jejak kejahatannya sebagai pelaku pembantaian massal. Dengan kata lain, kasus pembantaian massal itu tidak akan terbongkar karena semua kuburan massal sengaja tidak diberi nisan. Sebulan dua bulan berikutnya, kuburan massal itu pasti sudah ditumbuhi rumput-rumput liar sehingga akan mirip seperti sebuah tanah lapang.
“Jangan-jangan setelah semua mayat terkubur, aku dan kawan-kawan juga akan dibantai oleh tentara Jepang agar tidak ada lagi saksi mata yang hidup dan suatu ketika akan bisa membongkar kasus pembantaian massal yang telah dilakukan mereka?” tiba-tiba kakek tergoda untuk melarikan diri.
Kakek tidak mau ikut dibantai oleh tentara Jepang. Karena itu, pada tengah malam sehabis menguburkan secara massal sejumlah mayat di desa lain, diam-diam kakek pulang ke rumah untuk membawa nenek dan ibu mengungsi sejauh-jauhnya.
Tapi dugaan kakek ternyata meleset, karena tentara Jepang sengaja membiarkan sejumlah rakyat tetap hidup agar bisa membantu mereka menanam pohon jarak yang buahnya bisa diolah menjadi minyak jarak untuk bahan bakar bagi kapal-kapal perang dan pesawat-pesawat tempur untuk melanjutkan pertempuran dengan tentara sekutu yang dipimpin Amerika Serikat.
Begitulah. Setelah semua mayat korban pembantaian massal dikuburkan, tentara Jepang berubah sikap menjadi ramah dan bersahabat kepada warga yang masih hidup. Semua Ketua RT dan Ketua RW bersama semua Kepala Desa di wilayah pesisir utara dikumpulkan untuk menerima biji jarak yang harus segera ditanam di semua lahan persawahan dan pekarangan rumah masing-masing.