Imlek dan Kue Keranjang

CERPEN AGNES YANI SARDJONO

Bukankah Cik Lien dengan tulus ikhlas ketika mengantar kue keranjang ini? Dia pasti punya maksud agar persaudaraan di antara kami tetap lengket seperti ketan.

Karena tidak mau diatur-atur lagi tanganku segera menyahut pisau belati. Spontan kuangkat dengan ujung belati di bawah. Artinya siap untuk menikam.

“Kamu mau apa?” suara itu muncul lagi.

“Memotong-motong kue keranjang ini! Ini milikku, kenapa kau nyinyir jadi penghalang?”

“Kamu pernah merasakan ditikam dengan ujung pisau belati?”

Tanganku urung menancapkan pisau belati di kue keranjang. Pertanyaan yang menohok.

“Belum pernah,” jawabku pelan.

“Bisa membayangkan betapa sakitnya jika tanganmu ditikam dengan ujung pisau belati?”

“Hmmm…”

“Bagaimana jika pahamu yang ditikam? Bagaimana rasa sakitnya?”

“Hmmm…”

“Kalau ulu hatimu yang ditikam?”

“Aku mati…”

“Nah…”

“Tapi kue keranjang ini tidak punya nyawa. Tidak punya darah. Ia tidak bisa menjerit, menangis dan meregang nyawa!”

“Bagaimana kalau ujung pisau belati itu kamu hunjamkan dulu di ulu hatimu?”

“Gila kamu!” dampratku sambil berdiri. Aku sudah tidak sabar. Pisau belati kuangkat tinggi-tinggi.

“Maasss…kamu mau apa?” teriak sebuah suara yang sangat kukenal. Istriku sudah berdiri di depan pintu.

“Mau memotong-motong kue keranjang ini,” jawabku gemetar.

“Tidak sopan ya memotong-motong kue keranjang menggunakan pisau belati. Sini!” Ia merebut pisau belati dari tanganku, lalu bergegas ke dapur.

Ketika kembali ia sudah membawa pisau dapur dan dua cawan. “Begini cara memotong-motong kue keranjang,” katanya sambil memotong-motong dan membagi di dua cawan.

Aneh. Tidak ada suara yang memprotes. Sampai bagianku habis kumakan, tidak ada suara yang memprotes. Lalu kenapa tadi aku dihalang-halangi terus? Pertanyaan yang belum kutemukan jawabnya sampai hari ini. ***

Lihat juga...